14 Des
Implementasi Visi Kepemimpinan Transformasional
Dr. Herri Swantoro, S.H., M.H.
Pada Pengadilan Negeri Klaten Kelas IA
Oleh : Albert Usada, S.H., M.H.
Deskripsi & Sinopsis:
Naskah Tulisan Ketua Pengadilan Negeri Klaten Kelas IA di bawah judul “Implementasi Visi kepemimpinan Transformasional Dr. Herri Swantoro, S.H., M.H. Pada Pengadilan Negeri Klaten” merupakan hasil pengalaman konkret dan kontemplatif penulis semenjak menduduki jabatan Wakil Ketua dan Ketua Pengadilan Negeri Palopo Kelas IB (2015-2017) dan Wakil Ketua pengadilan Negeri Mataram Kelas IA (2017), sekarang sebagai Ketua Pengadilan Negeri Klaten Kelas IA (2017- sekarang).
Konsep dan teori “Kepemimpinan Tranformasional” (transformational leadership) yang pertama kali dikenalkan oleh James W. Downton yang dan kemudian dikembangkan oleh ahli kepemimpinan James MacGregor Burns (1978).
Oleh penulis makna “kepemimpinan transformasional” tersebut dimaknai sebagai “kepemimpinan yang berdaya ubah”.
Konsep “Kepemimpinan Transformasional” yang dikembangkan James MacGregor Burn tersebut kemudian diadopsi dan diimplementasikan oleh Dr. Herri Swantoro, S.H., M.H. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum dalam bingkai Manajemen Perubahan melalui berbagai regulasi dan kebijakannya untuk diterapkan di jajaran Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi maupun di Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum sendiri.
Semangat dan tekad implementasi Kepemimpinan Transformasional oleh Dr. Herri Swantoro tersebut guna mewujudkan Misi Ketiga Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu “Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan” dalam kerangka Visi “Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung”.
Doktor Herri Swantoro juga mengadopsi empat dimensi kepemimpinan transformasional (Bass & Avolio, 1994). Pertama dimensi pengaruh ideal (idealized influence), yang menggambarkan perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Kedua, dimensi motivasi inspirasi (inspirational motivation), yang menegasikan bahwa pemimpin transformasional (baca: pemimpin yang berdaya ubah) digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah semangat team work suatu organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Ketiga, dmensi stimulasi intelektual (intellectual stimulation), bermakna bahwa pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahannya, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Keempat, dimensi konsiderasi individu (individualized consideration), yang mendeskripsikan bahwa pemimpin transformasional sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memerhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan dalam hal pengembangan karir (Bass and Avolio, 1994).
Doktor Herri Swantoro berusaha menggambarkan bahwa pemimpin transformasional sebagai pemimpin penerobos (Sarros & Butchatsky, 1996), karena pemimpin penerobos mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan cara:
Demikian pula, pemimpin penerobos dipresentasikan sebagai pemimpin yang memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaannya dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya.
Kemudian, model pemimpin transformasional menurut Doktor Herri Swantoro adalah sebagai model pemimpin pengadilan yang diharapkan dapat membawa pada pembaruan peradilan, ujudnya melalui implementasi Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan Umum terhadap 30 Pengadilan Tinggi dan 294 Pengadilan Negeri (melalui Tujuh Tahap APM 2016-2017, dan 2018), dan Pedoman Praktis Pemeliharaan Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan Umum (Badan Peradilan Umum, 2017), serta Akreditasi Menuju Peradilan Modern (Badan Peradilan Umum, 2018).
Harapan berikutnya, bagi Pengadilan negeri yang sudah terakreditasi “A” (Excellent) telah didorong untuk mendapatkan pengakuan internasional melalui keanggotaan pada Konsorsium Internasional untuk Peradilan Unggul (International Consortium of Court Excellence, ICCE).
Pengakuan internasional keanggotaan pada ICCE tersebut, diawali dengan persiapan dan perencanaan yang matang dan akuntabel melalui Implementasi Kerangka Kerja internasional untuk Peradilan Unggul (International Framework for Court Excellence, IFCE).
Catatan:
Naskah ini akan dipublikasikan penulis, apabila dan setelah mendapat izin dari Bapak Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia.